Jakarta (Lensagram) – Korea Selatan membuat kejutan besar pada Selasa (3/12) dengan terjadinya darurat militer untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun.
Langkah ini diumumkan langsung oleh Presiden Yoon Suk Yeol dalam pidato malam yang disiarkan secara nasional.
Kebijakan tersebut segera menjadi perbincangan global, viral di media sosial, dan memicu kontroversi di dalam negeri.
Alasan Pemberlakuan Darurat Militer
Presiden Yoon menyerukan darurat militer ini dilakukan untuk menghadapi ancaman dari “kekuatan anti-negara” yang memanfaatkan situasi politik dalam negeri yang diperburuk oleh ketegangan dengan Korea Utara.
Baca Juga : Super Hemat, Habiskan Rp 97 Ribu Per Bulan, Cewek Korea Berhasil Kumpulkan Rp 1,1 Miliar Dalam 4 Tahun
Langkah ini dianggap sebagai respons terhadap situasi darurat yang terjadi, di mana otoritas sipil tidak mampu menangani ancaman tersebut.
Namun, sejumlah pihak menilai keputusan ini lebih didorong oleh dinamika politik internal.
Pengamat menyebut bahwa Yoon Suk Yeol berada di bawah tekanan politik berat, khususnya dari oposisi, yang disebut Presiden berusaha “menggulingkan pemerintahannya”.
Protes dan Ketegangan di Korea Selatan
Keputusan ini memicu protes besar-besaran di ibu kota Korea Selatan.
Ribuan warga berkumpul di depan Gedung Parlemen, termasuk slogan seperti “Tidak Ada Darurat Militer!” dan “Hancurkan Kediktatoran!”.
Situasi semakin memanas ketika parlemen mengadakan sidang darurat untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Sementara itu, militer mengambil alih keamanan, dengan pasukan bersenjata serta berseragam dan polisi ditempatkan di sekitar gedung pemerintahan.
Berbagai Helikopter juga mendarat di atap Gedung Majelis Nasional, menunjukkan kesiapan penuh untuk mengamankan lokasi.
Pada pukul 23.00 waktu setempat, militer mengeluarkan dekrit yang melarang protes dan aktivitas politik serta mengendalikan berbagai media.
Baca Juga : PHK 1500 Karyawan, Pabrik Ban Korsel di Cikarang Berhenti Produksi.
Langkah ini dikecam oleh para politikus dan kelompok sipil, yang menyebut deklarasi darurat militer sebagai tindakan ilegal dan tidak konstitusional.
Imbas pada Acara Nasional
Selain memicu protes, pemberlakuan darurat militer ini juga berdampak pada terhentinya sejumlah acara hiburan dan penghargaan akhir tahun yang telah dijadwalkan sebelumnya.
Kebijakan ini mengecewakan banyak warga yang menantikan rangkaian acara tersebut sebagai bagian dari perayaan akhir tahun.
Darurat Militer: Langkah Kontroversial di Negara Demokrasi
Sejak tahun 1987, Korea Selatan telah menjadi negara demokrasi parlementer.
Pemberlakuan darurat militer terakhir kali terjadi pada tahun 1979, saat terjadi kudeta setelah dibunuhnya diktator militer Park Chung Hee.
Langkah Presiden Yoon Suk Yeol ini mengingatkan pada masa-masa otoriter yang kelam di Korea Selatan, sehingga menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak.
Keputusan yang Berakhir dengan Pembatalan
Tekanan dari parlemen dan protes besar-besaran akhirnya membuat Presiden Yoon mencabut kebijakan darurat militer.
Baca Juga : Ribuan Sekolah di Korea Selatan Terancam Ditutup, Ini Penyebab Utamanya
Namun, langkah ini meninggalkan dampak besar pada situasi politik dan sosial di Korea Selatan.
Para pengamat internasional menilai keputusan ini dapat merusak citra Korea Selatan sebagai salah satu negara yang demokrasinya paling stabil di Asia.
Sementara itu, warga terus mengungkapkan transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah untuk mencegah langkah otoriter serupa di masa depan.