Jakarta (Lensagram) – Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.
Kebijakan ini telah memunculkan reaksi keras dari berbagai pihak, khususnya pelaku usaha di sektor industri pengemasan, perhotelan, dan restoran.
Para pelaku usaha menilai bahwa langkah ini dapat memicu peningkatan biaya produksi, melonjaknya harga konsumsi barang, dan penurunan daya beli masyarakat.
Baca Juga : Indonesia Deflasi Lima Bulan Berturut-turut, Ternyata Ini Penyebabnya
Kenaikan Tarif PPN dan Protes dari Pelaku Usaha
Kenaikan PPN menjadi 12% diharapkan pemerintah dapat memberikan tambahan pendapatan negara untuk mendukung pembangunan.
Namun, banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan ini tidak tepat waktu, mengingat dampaknya yang luas terhadap pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19.
Direktur Pengembangan Bisnis Indonesia Packaging Federation (IPF), Ariana Susanti, secara terbuka mengkritik kebijakan tersebut.
Menurutnya, industri pengemasan dan turunannya akan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak.
“Kenaikan PPN ini akan menambah beban pada industri kami.
Harga barang menjadi semakin mahal, yang tentu saja akan berdampak pada daya beli masyarakat. Kebijakan ini dilakukan pada saat yang kurang tepat,” ujar Ariana kepada media.
Selain IPF, berbagai asosiasi industri lainnya juga telah menyampaikan protes kepada pemerintah.
Mereka berharap ada dialog lebih lanjut sebelum kebijakan ini benar-benar diterapkan.
Sektor Perhotelan dan Restoran Juga Terdampak
Sektor perhotelan dan restoran juga melayangkan keberatan atas rencana kenaikan PPN ini.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut.
“Kenaikan PPN menjadi 12% dapat menimbulkan efek domino yang merugikan banyak sektor, termasuk perhotelan dan restoran.
Kami khawatir kebijakan ini akan berdampak pada penurunan penjualan yang signifikan,” ungkap Hariyadi.
Hariyadi menambahkan bahwa sektor perhotelan dan restoran sudah cukup terpukul akibat pandemi.
Kebijakan yang meningkatkan biaya operasional dapat memperlambat pemulihan sektor ini dan mengurangi daya saing usaha di pasar.
Dampak Langsung pada Harga Barang Konsumsi
Kenaikan PPN diperkirakan akan memberikan dampak langsung pada biaya produksi di berbagai sektor.
Konsekuensinya, harga barang yang dikonsumsi di pasaran juga akan meningkat.
Bagi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, kenaikan harga ini dapat menambah beban pengeluaran sehari-hari.
Baca Juga : WOW 774 Kg Emas Indonesia Dicuri WNA China , Negara Rugi Hingga Rp 1,02 Triliun
Pelaku usaha diperingatkan bahwa daya beli masyarakat yang sudah menurun akibat pandemi dapat semakin terganggu oleh kebijakan ini.
“Saat ini, banyak masyarakat masih berjuang untuk memulihkan kondisi ekonominya.
Kenaikan PPN hanya akan membuat kebutuhan barang-barang menjadi lebih mahal, sehingga membebani konsumen,” ujar seorang analis ekonomi dari Universitas Indonesia.
Pemerintah menjanjikan Meninjau Ulang Kebijakan
Seiring dengan kritik yang muncul, berbagai pihak berharap pemerintah dapat menunda atau meninjau ulang kebijakan kenaikan PPN ini.
Ada beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan, seperti pemberlakuan bertahap atau kegagalan sektor tertentu yang dianggap vital bagi masyarakat.
Para ekonom juga menyarankan agar pemerintah mencari sumber pendapatan lain yang tidak membebani masyarakat secara langsung.
Hal ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama dalam masa pemulihan.
“Kebijakan yang tidak tepat waktu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pemerintah sebaiknya membuka ruang diskusi dengan berbagai pihak untuk mencari solusi terbaik,” tambah analis tersebut.
Baca Juga : Ditjen Pajak Bantah Kebocoran Data NPWP Jokowi dan Pejabat Tinggi lain
Harapan untuk Solusi yang Lebih Baik
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025 menjadi isu krusial yang memerlukan perhatian serius.
Pemerintah diharapkan mampu menyusun kebijakan yang tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan negara.
Tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat.
Dengan kondisi perekonomian yang masih dalam tahap pemulihan, keputusan yang bijaksana akan menjadi kunci untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.