Pemerintah memerlukan utang untuk menjalankan negara guna membiayai pembangunan infrastruktur, program sosial, dan kebutuhan operasional lainnya yang tidak dapat sepenuhnya ditutupi oleh pendapatan negara.
Akan tetapi, utang yang terus bertambah bisa mengurangi kemandirian ekonomi negara, membuatnya rentan terhadap tekanan eksternal dan perubahan kondisi ekonomi global yang tidak terduga.
Dilansir dari dokumen APBN Kinerja dan Fakta edisi Juli 2024, utang pemerintah mengalami peningkatan di akhir Semester I 2024. Per akhir Juni 2024, jumlah utang tercatat sebesar Rp 8.444,87 triliun, naik 1,09 persen dari akhir Mei 2024 yang sebelumnya hanya sebesar Rp 8.353,02 triliun.
Kenaikan utang sebesar Rp 91,85 triliun ini menyebabkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 39,13 persen, meningkat dari 38,71 persen pada akhir bulan sebelumnya.
Umumnya di banyak negara, rasio utang yang lebih tinggi menunjukkan beban utang negara lebih besar dibandingkan ukuran ekonominya, sehingga dapat mengurangi kepercayaan investor dan menaikkan biaya pinjaman karena dianggap lebih berisiko. Namun, menurut dokumen APBN Kinerja dan Fakta edisi Juli 2024, selama rasio ini masih di bawah batas aman 60%, ekonomi Indonesia dianggap masih aman.
“Rasio utang per akhir Juni 2024 yang sebesar 39,13 persen terhadap PDB, tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara,” tertulis di dokumen APBN Kinerja dan Fakta edisi Juli 2024.
Sebagian besar utang pada semester I-2024 sebesar Rp 8.444,87 triliun, berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang jumlahnya mencapai Rp 7.418,76 triliun, dan sisanya berasal dari pinjaman sebesar Rp 1.026,11 triliun.
Utang dari SBN terdiri dari SBN Domestik sebesar Rp 5.967,70 triliun dan SBN Valas sebesar Rp 1.451,07 triliun. Pinjaman mencakup pinjaman dalam negeri sebesar Rp 38,10 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 988,01 triliun.
Pada akhir Juni 2024, lembaga keuangan memegang sekitar 41,1 persen kepemilikan SBN domestik, dengan perbankan memegang 22,1 persen dan perusahaan asuransi serta dana pensiun sebesar 19,0 persen.
Sedangkan kepemilikan SBN domestik oleh Bank Indonesia mencapai sekitar 23,1 persen, yang sebagian digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter, sementara kepemilikan asing sekitar 13,9 persen, termasuk oleh pemerintah dan bank sentral asing.
Meskipun utang bertambah yang kebanyakan digunakan untuk SBN, akan tetapi bagi lembaga keuangan, SBN memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan investasi dengan menyediakan opsi investasi yang aman dan memberikan imbal hasil.
Data yang terbaru menunjukkan bahwa kepemilikan investor individu di SBN domestik meningkat dari kurang dari 3% pada 2019 menjadi 8,6% pada akhir Juni 2024.
SBN juga membantu pengelolaan likuiditas dengan mengatur aliran kas dan memastikan ketersediaan dana untuk kewajiban jangka pendek. Selain itu, SBN berfungsi sebagai instrumen mitigasi risiko, karena dianggap sebagai investasi yang stabil dan aman di tengah ketidakpastian pasar.
“Bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting dalam memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu instrumen mitigasi risiko,” tertulis dalam dokumen itu.
BELUM DIUBAH MENJADI KALIMAT AKTIF