Jakarta (Lensagram) – Di era digital yang serba transparan, masih terdapat kasus-kasus besar yang tidak mendapat sorotan media arus utama.
Isu-isu sensitif, terutama yang melibatkan korupsi, kejahatan korporasi, atau kepentingan politik, sering kali tenggelam tanpa liputan yang mampu.
Mengapa demikian? Apakah media takut, dibungkam, atau justru menerima suap untuk tetap diam?
1.Ketakutan Media terhadap Rezim atau Pemilik Modal
Di banyak negara, tekanan terhadap media datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan korporasi besar.
Baca Juga : Demo Indonesia Gelap: Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan, Suarakan Aspirasi Rakyat
Ancaman hukum seperti pencabutan izin siaran, pemblokiran akses berita, atau bahkan intimidasi terhadap jurnalis sering menjadi alat ampuh untuk membungkam suara kritis.
Contoh nyata bisa dilihat dalam kasus-kasus besar seperti dugaan korupsi di sektor energi atau keuangan yang hanya diliput oleh media independen, sementara media besar memilih untuk diam.
Hal ini mencerminkan bahwa media arus utama mungkin khawatir akan konsekuensi hukum atau serangan terhadap kredibilitas mereka jika terlalu vokal.
- Media Dibungkam dengan Tekanan Politik dan Hukum
Selain ketakutan internal, beberapa media bisa saja sengaja dibungkam dengan tekanan langsung dari pihak berkepentingan.
Misalnya, kasus-kasus yang menyeret nama pejabat tinggi atau perusahaan raksasa sering kali hanya muncul di media alternatif karena media besar dihadapkan pada tekanan politik atau ancaman hukum yang serius.
Metode pembungkaman ini bisa beragam, mulai dari penangkapan akses informasi , gugatan hukum dengan alasan pencemaran nama baik, hingga pembredelan media yang dianggap terlalu kritis.
Akibatnya, berita yang seharusnya menjadi konsumsi publik malah ditutupi oleh informasi yang lebih aman dan tidak rumit.
- Suap untuk Membungkam Kebenaran
Aspek lain yang juga tak kalah ditolak adalah praktik suap atau advertorial terselubung yang bertujuan untuk mengontrol narasi berita.
Beberapa media besar bisa saja memilih untuk tidak menyiarkan berita tertentu karena ada kepentingan finansial yang lebih besar.
Praktik ini dapat berupa:
- Pembayaran langsung untuk menghapus atau mengurangi pemberitaan negatif
- Iklan kerja sama dengan pihak yang sedang mengangkut kasus agar media tetap diam
- Pemberian akses eksklusif atau insentif lain kepada media yang setuju mengikuti narasi tertentu
Ketika ini terjadi, publik tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya, dan hanya melihat berita yang telah disaring atau dimanipulasi sesuai kepentingan pihak tertentu.
Bagaimana Cara Publik Menyikapinya?
Dalam menghadapi fenomena ini, masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi berita. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
✔️ Mendukung media independen yang tetap berani menyuarakan kebenaran
✔️ Memverifikasi informasi dengan membandingkan dari berbagai sumber
✔️ Menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan informasi alternatif
✔️ Mendesak transparansi dan kebebasan pers agar media tidak tunduk pada kepentingan tertentu
Kesimpulan
Media seharusnya menjadi pilar demokrasi yang diumumkan kepada publik secara jujur dan obyektif.
Baca Juga : Viral! Wanita Ngamuk di Pelabuhan Passarang Majene, Larang Pacarnya Merantau ke Kalimantan
Namun kenyataannya, banyak media besar yang justru memilih diam karena takut, dibungkam, atau bahkan menerima suap.
Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar.
Saatnya masyarakat lebih proaktif dalam mencari kebenaran dan tidak hanya bergantung pada satu sumber informasi.
Karena di era informasi ini, diamnya media bukan berarti tidak ada kebenaran, melainkan ada kepentingan yang ingin disembunyikan.