Jakarta (Lensagram) – Ijazah merupakan salah satu dokumen resmi yang lazim dijadikan sebagai syarat administrasi dalam berbagai keperluan, seperti proses rekrutmen pekerjaan, pengajuan kenaikan jabatan, hingga pencalonan dalam jabatan publik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 58 Tahun 2024, ijazah diartikan sebagai dokumen autentik yang menyatakan bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, baik melalui jalur formal maupun nonformal.
Sebagai dokumen yang berfungsi sebagai bukti kelulusan, ijazah memegang peranan krusial dalam berbagai proses administratif yang mensyaratkan verifikasi jenjang pendidikan seseorang. Namun demikian, tidak jarang terjadi penyalahgunaan dalam bentuk pemalsuan ijazah guna memenuhi persyaratan administratif dalam kondisi tertentu.
Lantas, bagaimana regulasi hukum di Indonesia mengatur mengenai tindak penggunaan ijazah palsu?
Sanksi Hukum bagi Individu yang Terbukti Melakukan Pemalsuan Ijazah
Dr. Heri Hartanto, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, menyatakan bahwa tindakan pemalsuan ijazah merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenai sanksi pidana.
Ia menjelaskan bahwa perbuatan tersebut tergolong sebagai tindak pidana pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa delik tersebut mencakup tiga bentuk, yakni pembuatan dokumen palsu, penggunaan dokumen palsu, serta perintah untuk mencantumkan informasi yang tidak benar dalam surat atau akta otentik.
Baca Juga : Manggarai Mencekam! Tawuran Petasan Berujung Maut, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
“Pelaku pemalsuan ijazah adalah individu yang merekayasa ijazah agar tampak seolah-olah dokumen tersebut sah dan asli,” tutur Heri pada Senin (5/5/2025). Ia juga menegaskan bahwa unsur-unsur dalam pemalsuan ijazah pada prinsipnya tidak berbeda dengan tindak pidana pemalsuan dokumen pada umumnya.
Konsekuensi Hukum dan Sosial dari Tindak Pemalsuan Ijazah
Dr. Heri Hartanto, yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) LPPM Universitas Sebelas Maret, menyampaikan bahwa pemalsuan dokumen dapat menimbulkan implikasi hukum yang signifikan.
Salah satu konsekuensinya adalah timbulnya hak yang tidak semestinya atau terhapusnya kewajiban hukum dari pihak yang menggunakan dokumen tersebut secara tidak sah.
Sebagai contoh, penggunaan surat palsu yang menyatakan pelunasan utang dapat menghindarkan seseorang dari kewajiban membayar utang yang sebenarnya masih berlaku. Ia juga menambahkan bahwa pelaku pemalsuan tidak selalu identik dengan pihak yang menggunakan dokumen palsu tersebut.
“Dalam sejumlah kasus, ditemukan penggunaan surat palsu oleh seseorang untuk kepentingan pribadi, sementara identitas pembuat dokumen tidak diketahui secara pasti,” ujarnya.
Heri menjelaskan bahwa pengguna dokumen palsu tetap dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 263 ayat 2 KUHP. Ia juga menambahkan bahwa pemalsuan dokumen bisa berupa penambahan keterangan palsu dalam dokumen resmi atau akta otentik yang tetap sah.
Heri memberikan contoh terkait pemalsuan surat hibah yang digunakan untuk memperoleh sertifikat tanah. Meskipun sertifikat tersebut sah, karena surat hibah yang dipalsukan, sertifikat tersebut batal secara hukum. Tindak pidana semacam ini diatur dalam Pasal 264 KUHP.
Heri menambahkan, pelaku pemalsuan dokumen, termasuk ijazah, dapat dihukum penjara hingga 6 tahun. Sementara itu, jika yang dipalsukan adalah akta otentik atau informasi di dalamnya, hukuman bisa mencapai 8 tahun penjara.
Sejalan dengan pernyataan Heri, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Dr. Muhammad Rustamaji, menjelaskan bahwa pemalsuan ijazah dapat dikenakan hukuman pidana penjara selama maksimal enam tahun. Selain itu, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru atau UU Nomor 1 Tahun 2023, yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026, seseorang yang memalsukan atau membuat ijazah palsu dapat dikenai pidana penjara paling lama enam tahun atau denda maksimal sebesar Rp 200 juta.
“Dalam KUHP yang berlaku saat ini atau WvS warisan Belanda, sanksi yang dikenakan adalah pidana penjara maksimal enam tahun bagi pembuat surat palsu sesuai Pasal 263 ayat (1), serta bagi mereka yang menggunakan surat palsu yang diketahui palsu berdasarkan Pasal 263 ayat (2),” ujarnya.
sumber :
https://www.kompas.com/tren/read/2025/05/06/050000865/apa-sanksi-hukum-bagi-pelaku-pemalsuan-ijazah-?page=2
Baca Juga : BMKG Ungkap Daftar Wilayah yang Terancam Hujan Lebat 6-7 Mei! Daerahmu Termasuk?