Oleh:
La Kooko, S.Pd.,M.Pd.
Di balik rimbunnya hutan Papua dan debur ombak Raja Ampat yang tak henti bersenandung, ada satu nama yang menyala seperti lentera dalam malam yang gelap gulita: Bapak Baenal. Seorang lelaki bersahaja yang telah mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk sebuah misi agung—membangun peradaban melalui pendidikan di daerah yang selama ini nyaris tak terdengar dalam gegap gempita pembangunan nasional. Ia bukan sekadar guru. Ia adalah arsitek mimpi, penyulam harapan, dan penjaga nyala api masa depan bagi anak-anak di pelosok Papua Barat Daya.
Awal Jejak: Menanam Benih di Tanah Terlupakan
Tahun 1987 menjadi tonggak awal perjuangan panjang itu. Di Kampung Matawolot, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong, Bapak Baenal memulai misinya dengan mendirikan TK Aisyiyah 3. Di tengah keterbatasan fasilitas, ia membuka ruang pertama bagi anak-anak kampung untuk mengenal huruf dan angka—sebuah langkah sederhana namun sangat berarti. Tiga tahun berselang, tepatnya tahun 1990, ia kembali mengguncang hati nuraninya dan membangun Panti Asuhan Al-Ikhlas. Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga benteng cinta untuk anak-anak yatim yang nyaris tenggelam dalam kerasnya hidup.
Tak berhenti di sana. Tahun 1992, terinspirasi oleh realita getir bahwa anak-anak SMP harus menempuh jarak 7 km menembus jalan berlumpur, menggantung sepatu di leher, dan membawa obor saat subuh demi menggapai ilmu di kampung sebelah, ia mendirikan sebuah sekolah menengah pertama. Kini dikenal sebagai SMP GUPPI, sekolah ini kemudian melahirkan SMA yang menjadi kelanjutan jenjang pendidikan bagi anak-anak kampung itu. Semua itu lahir bukan dari kucuran anggaran besar, tapi dari semangat besar yang tak pernah padam.
Langkah demi Langkah, Setapak demi Setapak
Tahun 2008 menjadi tahun yang monumental. Di tahun yang sama, ia mendirikan tiga lembaga pendidikan sekaligus: PAUD Tunas Harapan, TK Tunas Bhakti, dan SMPN 19 Raja Ampat. Tiga cahaya baru yang menyinari tiga ruang berbeda dalam fase pendidikan anak-anak negeri. Bahkan pada tahun 2013, Bapak Baenal menembus keterisolasian dengan mendirikan SDN 43 Warengkris di Distrik Teluk Mayalibit—sebuah wilayah yang jauh dari sorotan media dan perhatian pemerintah. Sekolah ini berdiri berkat kolaborasi dengan Dompet Dhuafa, bukti bahwa kepedulian bisa melintasi batas geografis jika digerakkan oleh niat yang tulus.
Lalu tahun 2018, lahir SD Persiapan Napirboi dan dilanjutkan pada 2023 dengan SMP Persiapan Napirboi di Distrik Waigeo Selatan. Ini bukan hanya deretan angka dan nama sekolah, tapi saksi sejarah dari perjuangan sunyi yang tak pernah dipublikasikan. Semua berdiri karena satu alasan: agar anak-anak di pedalaman tak lagi menjadi korban dari sistem pendidikan yang membentuk piramida, di mana hanya segelintir yang mampu bertahan hingga ke jenjang atas.
Mimpi yang Belum Usai
Namun kisah ini belum selesai. Tahun 2025, Bapak Baenal telah merancang tiga proyek baru: mendirikan SMA di Pulau Gag, PAUD di Kampung Lopintol, dan PAUD di Napirboi. Semua tersebar di wilayah terpencil, nun jauh dari pusat pemerintahan, namun justru di sanalah anak-anak paling membutuhkan sentuhan tangan kasih dari seorang pendidik sejati. Lalu pada 2026, ia merencanakan untuk mendirikan SMA di Kampung Napirboi, sebelum akhirnya menutup lembaran pengabdiannya sebagai guru, sebagai pendidik, sebagai pejuang.
Tetapi purnanya bukan akhir. Ia ingin karya terakhir itu menjadi simbol: bahwa perjuangan tak akan pernah mati, walau jasad suatu saat harus kembali ke tanah. “Karena sesungguhnya hidup itu hanya menunggu kematian. Bukan harta, tahta, atau jabatan yang akan kita bawa mati, tapi amal dan pahala,” tuturnya dengan lirih namun mengguncang hati.
Mengubah Wajah Pendidikan: Mimpi tentang Balok, Bukan Piramida
Bapak Baenal punya visi tajam dan menyentil: sistem pendidikan seharusnya tidak membentuk piramida, tapi balok berdiri. Artinya, jika ada 20 anak lulus dari SD, maka harus ada 20 yang masuk SMP dan 20 pula yang lanjut ke SMA. Tak boleh lagi ada penyusutan jumlah karena keterbatasan fasilitas atau jauhnya akses. Ia percaya, mimpi itu mungkin terwujud jika semua jenjang pendidikan tersedia dalam satu kampung, tanpa harus mengorbankan masa depan anak-anak karena harus merantau terlalu dini, terpapar risiko pergaulan bebas, atau bahkan drop out karena tekanan ekonomi dan sosial.
Salah satu kisah yang menggetarkan adalah ketika ia melihat 20 anak lulusan SD di Gag yang harus merantau ke Sorong hanya untuk melanjutkan SMP dikala itu. Mereka tinggal di panti asuhan, jauh dari orang tua. Namun, hanya lima anak yang bertahan hingga lulus SMP. Sisanya gugur, bukan karena bodoh, tapi karena sistem yang tak adil. Dan dari luka itulah, Bapak Baenal bangkit. Ia menolak diam. Ia membangun. Ia mengubah.
Penutup: Warisan Seorang Pejuang
Kisah hidup Bapak Baenal adalah puisi panjang tentang pengabdian, cinta, dan keikhlasan. Ia bukan selebriti. Ia bukan politisi. Tapi dedikasinya telah menciptakan perubahan nyata bagi ratusan, bahkan ribuan anak-anak negeri yang lahir dan tumbuh di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Ketika banyak orang sibuk berburu gelar dan kekuasaan, ia memilih tinggal di pinggir peradaban, di antara sunyi dan kesepian, hanya untuk memastikan satu hal: anak-anak kampungnya bisa sekolah, bisa bermimpi, dan bisa menatap masa depan.
Kini, saat usianya menua dan langkahnya mungkin mulai melemah, warisan itu telah kokoh berdiri: sekolah-sekolah, panti asuhan, dan generasi yang tumbuh dari tangan kasihnya. Ia telah menulis sejarahnya sendiri, bukan dengan tinta emas, tapi dengan air mata perjuangan dan darah pengorbanan.
Semoga kisah ini mengetuk hati kita, membuka mata kita, dan menggugah akal kita: bahwa perubahan besar tidak selalu datang dari pusat, tapi seringkali lahir dari peluh seorang guru di ujung negeri.
Aamiin, Pak. Terima kasih. Luar biasa. Kata demi kata narasi ini membuat kami meneteskan air mata. Terinspirasi. Tersentuh. Tertampar. Semoga Allah menuliskan setiap perjuanganmu sebagai pahala yang tak putus-putus hingga akhir zaman.
Penulis adalah Praktisi dan Pemerhati Pendidikan di daerah 3t